Hits: 10
Topik ini merupakan hal yang sering ditanyakan oleh berbagai pihak. Banyak yang menyebutkan bahwa valuasi perusahaan startup itu “ajaib”. Bagaimana mungkin startup yang merugi besar memiliki valuasi yang gila-gilaan? Pada tulisan ini saya mencoba untuk menjabarkan hal-hal yang biasanya digunakan dalam menghitung valuasi startup, serta bagaimana hal tersebut memiliki dasar yang sama dengan menghitung valuasi perusahaan pada umumnya.
Apa itu startup?
Banyak pihak mendefinisikan startup, namun satu definisi yang saya cukup sukai adalah bisnis yang mencoba memecahkan suatu problem dengan solusi yang belum terbukti keberhasilan/skalabilitasnya. Belum berhasil atau belum scalable di sini dapat bermakna belum digunakan oleh banyak pihak (early/seed stage) atau sudah mulai digunakan oleh banyak pihak namun belum sustainable secara bisnis (growth stage).
Baik early/seed maupun growth stage, pada umumnya startup tersebut belum memperoleh keuntungan. Beberapa di antaranya sudah memperoleh pendapatan namun belum sampai memperoleh keuntungan.
Lantas mengapa investor mau mendanai startup yang masih merugi? Jawabannya adalah prospek masa depan, yakni investor menganalisis bahwa startup tersebut akan berkembang dari sisi ukuran maupun pendapatan sehingga di kemudian hari startup tersebut akan menjadi perusahaan besar — dan menguntungkan.
Hal ini digambarkan dengan grafik yang disebut kurva J yang nampak seperti di bawah.
Kurva J
Kurva ini menggambarkan posisi keuangan/kas perusahaan relatif dari titik awal sebelum perusahaan tersebut berdiri. Di awal (titik X), startup berada di bawah titik nol karena startup mengeluarkan modal awal untuk membangun perusahaan. Selanjutnya (antara titik X dan titik Y), startup mulai berjalan namun belum menghasilkan penghasilan. Dengan demikian, keuangan perusahaan akan terus berkurang/turun.
Pada akhirnya, startup mencapai BEP di titik Y, sehingga keuangan perusahaan tidak turun lagi. Jika setelah itu startup mencapai keuntungan, maka keuangan perusahaan akan naik dari titik Y. Titik Y ini dapat dianggap sebagai total investasi sebenarnya yang dibutuhkan oleh startup tersebut.
Apabila ini terus berlanjut, maka keuangan perusahaan akan terus naik hingga di atas titik nol (titik Z), dan setelah itu, keuangan akan perusahaan tumbuh secara eksponensial.
Tentu saja, kurva di atas adalah gambaran secara ideal. Pada kenyataannya, kondisi startup berbeda-beda. Ada yang berhasil mencapai kondisi seperti di atas, ada juga yang gagal (tidak berhasil naik dari titik Y). Keberhasilan suatu startup terletak pada kemampuannya untuk memperoleh keuntungan (naik dari titik Y) namun tetap tumbuh pesat secara ukuran.
Matriks untuk menghitung valuasi startup
Karena kondisi merugi, tentu sulit mengukur valuasi perusahaan berdasarkan laba/rugi (disebut dengan istilah price earning ratio atau PER). Oleh karena itu, biasanya investor akan menilai dari top line startup, yakni Gross Merchandise Value (GMV) atau nilai total transaksi.
Sebagai contoh, pada startup e-commerce, GMV menandakan jumlah transaksi melalui sistem pembayaran startup tersebut. Sementara itu, pada startup transportasi online, GMV menandakan total nilai tumpangan (ride) melalui startup tersebut.
Berapa faktor pengali (multiple) yang digunakan untuk menghitung valuasi berdasarkan GMV? Hal ini akan sangat beragam berdasarkan beberapa faktor di antaranya:
– Industri (semakin besar potensi industri, semakin besar multiple)
– Pertumbuhan (semakin cepat pertumbuhan startup tersebut, semakin besar multiple)
Kaitan dengan perusahaan tradisional
Nah, bagaimana kaitan antara valuasi startup berdasarkan GMV dengan valuasi perusahaan pada umumnya? Jawabannya terletak pada IRR/ROI yang diharapkan oleh investor. Meskipun saat ini startup belum memperoleh keuntungan, namun investor berharap di masa yang akan datang startup akan untung sehingga menghasilkan return bagi investor.
Sebagai contoh, mari kita lihat